FajarTotabuan.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut) terus genjot pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur 2015.

tak tanggung-tanggung berselang beberapa hari pasca di paripurnakan, Panitian Khusus (Pansus) langsung menggelar rapat bersama satuan perangkat kerja daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut, di ruang paripurna, Rabu-Jumat (13-15/04).

Pansus DPRD yang dipimpin Ketua Pansus Ferdinand Mewengkang pada pembahasan Rabu (13/4/2016), menghadirkan Sekretariat Daerah Pemprov Sulut yang dipimpin Sekprov Siswa Rachmat Mokodongan, salah-satunya Biro Pemerintahan dan Humas yang dipimpin Dr Jemmy Kumendong melaporkan serapan anggaran Biro Pemerintahan dan Humas mencapai 94,12 Persen.

“Tahun 2015 lalu dari Rp8.513.353.000 anggaran Biro Pemerintahan dan Humas, terealisasi Rp8.013.000.000, atau 94,12 persen. Anggaran untuk 11 program dan 29 kegiatan. Utama pemanfaatan teknologi informasi, penyebarluasan informasi melalui blok, advertorial 814 advert, fasilitasi kunjungan kerja DPR, DPD, DPRD Provinsi se-Indonesia,” ujar Kumendong.

Kegiatan lain dilaporkan Kumendong adalah rapat koordinasi, fasilitasi penerbitan SK Penjabat Gubernur dan Penjabat Bupati Walikota. “Juga program penataan otonomi daerah selesaikan 4 segmen batas di kabupaten dan kota. Fasilitasi pemekaran 6 kecamatan, penataan administrasi kependudukan, penerapan e-KTP,” jelas Kumendong

Masalah tapal batas Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolsel mendapat sorotan anggota Pansus Julius Jems Tuuk. Menurutnya, pemerintah provinsi kurang peduli menyelesaikan tapal batas yang berpotensi menimbulkan kerawanan sosial di dua kabupaten tersebut.

“Saya mendapatkan informasi pemerintah provinsi tidak pernah meninjau tapal batas. Termasuk Bupati Bolsel kurang beretikat baik menyelesaikan. Apa artinya pemekaran wilayah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan jika rakyat justru saling bersengketa!,” Tegas Jems Tuuk.

Sekprov Siswa Rachmat Mokodongan mengakui penyelesaian tapal batas terkendala adanya ketersinggungan Bupati Bolsel dengan Biro Pemerintahan Pemkab Bolmong. Namun menurut Mokodongan permasalahan tersebut sudah diselesaikan.

“Pada pertemuan terakhir antara Bupati Bolsel dan Bolmong ada ketersinggungan Bupati Bolsel terhadap biro pemerintahan Bolmong tapi ada klarifikasi Bupati Bolmong siap memutasikannya sehingga keduanya siap, Mohon juga untuk pertemuan nanti minta kesediaan Ibu Moha Siahaan (anggota Pansus DPRD Sulut/mantan Bupati Bolmong raya) karena beliau paling tahu,” terang Mokodongan.

Sementara untuk Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorluh) Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Jems Tuuk mempertanyakan peranan Bakorluh meningkatkan produksi beras dalam hal penyuluhan yang sesuai data terjadi penurunan produksi per hektar jauh dibawah produksi per hektar tahun 1990-an.

“Sebetulnya pertanyaan ini lebih tepat saya sampaikan pada SKPD terkait, namun saya hanya ingin tahu dari sisi penyuluhan yang dilakukan Bakorluh yang memiliki 900 penyuluh. Mengapa produksi beras per hektar dibandingkan tahun 90-an menurun? Dari 2,5 ton tinggal 1,5 ton,” tutur Jems Tuuk.

Terkait pertanyaan Jems Tuuk, Kepala Bakorluh Sulut, Ir Jefry Senduk memberikan alasan turunya produksi beras disebabkan perubahan iklim yang mempengaruhi ketersediaan air. “Disamping itu ketersediaan benih unggul mulai kurang,” tukas Senduk.

Pendapat kritis Jems Tuuk disikapi bijaksana Sekprov Siswa Rachmat Mokodongan yang berlatar belakang Insinyur Pertanian mengingatkan Kepala Bakorluh Sulut, Ir Jefry Senduk lebih intensif melakukan peninjauan langsung lapangan.

“60 persen waktu kepala badan harus di lapangan, sesuai amanah Presiden Jokowi jangan hanya duduk di kantor. Kalau tidak, para penyuluh kita banyak bapontar, sekaligus meningkatkan sinergitas kita dengan pemerintah kabupaten dan kota,” jelas Mokodongan.

Mokodongan mengakui penurunan produksi beras per hektar sawah disebabkan pengetahuan petani masih rendah. Hal sama dialami para nelayan. Kedepan, lanjut Mokodongan, penguasaan teknologi harus dimaksimalkan.

“Kedepan kita gunakan penyuluh swakarsa yang lebih profesional. Petani lebih mendengar mereka. Produksi menurun karena kurang kegiatan, menggunakan teknologi, pengetahuan dikembangkan petani. Monitoring dan evaluasi. Nelayan miskin ada nelayan punya perahu sendiri, malam sampai pagi melaut siang tidur sehingga banyak kegiatan penyuluhan terlewatkan,” tandas Mokodongan. (Adv)

Post A Comment:

0 comments: